Pandemi Covid-19 sebagai force majeure (keadaan memaksa), bisakah? Bagaimana tata cara klaimnya? Masa pandemi seperti sekarang ini tentu berat dirasakan bagi Anda yang sedang dililit hutang. Atau bagi Anda yang sebelum masa pandemi telah melakukan kontrak bisnis dengan klien.
Kebijakan PSBB, social distancing dan kampanye #dirumahaja yang terus menerus dihimbau oleh pemerintah memiliki dampak negatif berupa mandeknya kegiatan ekonomi. Hal tersebut bagi mereka pebisnis tentu harus merelakan bisnisnya terbengkalai, bagi pekerja harus rela di PHK, dan masih banyak dampak ekonomi yang terjadi.
Kondisi ini tentu tidak diharapkan oleh semua pihak, bahkan di luar kemampuan para pihak. Kondisi demikian hampir mirip dengan konsep keadaan memaksa dalam hukum perdata. Kemiripan tersebut menjadikan beberapa pihak mengklaim bahwa mereka layak mengabaikan hutang mereka, bahkan berbagai kontrak bisnis yang diperjanjikan. Hal ini, bila tidak diantisipasi awal akan menimbulkan chaos yang berkepanjangan dalam hubungan ekonomi yang dibuat para pihak. Oleh karena itu, perlu adanya arah yang jelas mengenai status pandemi sebagai alasan keadaan memaksa. Bagi mereka yang berhutang keapada bank telah diberikan fasilitas keringanan kredit sebagaimana ditentukan dalam Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020. Namun, bagi mereka yang berhutang kepada orang lain tentu memiliki prosedur yang berbeda.
Perlu diketahui, force majeure adalah keadaan memaksa (overmacht) yang mengakibatkan seseorang tidak bisa memenuhi prestasinya atas suatu perjanjian, termasuk di dalamnya hutang-piutang. Kondisi yang sering dicontohkan sebagai keadaan memaksa antara lain kebakaran, banjir dan atau bencana yang mengakibatkan seseorang tidak mampu melaksanakan prestasi. Kondisi banjir merupakan peristiwa di luar kemampuan dan tentu tidak dikehendaki oleh para pihak. Oleh karenanya, kondisi tersebut digolongkan sebagai keadaan memaksa.
Pengaturan Force Majeure di Indonesia
Aturan mengenai force majeure dapat kita temui pada pasal 1245 KUHPerdata yang secara umum dapat dimaknai bahwa “para pihak dalam perjanjian tidak dapat dimintai ganti rugi apabila tidak memenuhi prestasi/kewajiban dalam perjanjian karena terhalang oleh sesuatu yang berada diluar kemampuannya (keadaan memaksa)”. Ketentuan pasal 1245 KUHPerdata ini dapat berlaku bagi mereka yang secara tegas menundukkan diri kepada hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Selain unsur menundukkan diri, keadaan memaksa juga dapat berlaku bila diatur secara tegas dalam perjanjian.
Selanjutnya, untuk menilai apakah seseorang dapat dikategorikan sedang dalam keadaan memaksa, terdapat dua teori yang dapat diterapkan. Pertama, teori subjektif yakni keadaan memaksa yang didasarkan pada kondisi spesifik yang dialami seseorang, misalnya tiba-tiba sakit keras. Kedua, teori objektif yakni keadaan memaksa yang didasarkan pada kejadian eksternal di luar kemampuan seseorang seperti bencana.
Bentuk-bentuk Force Majeure di Indonesia
Jika kita melihat pengaturan keadaan memaksa sebagaimana disinggung di atas. Terdapat beberapa kemungkinan bentuk keadaan memaksa yang dipraktikkan di Indonesia.
Pertama, unsur keadaan memaksa tidak diatur dalam perjanjian, akan tetapi tetap menundukkan diri pada aturan hukum perdata di Indonesia. Dalam hal ini, untuk menentukan apakah seseorang mengalami keadaan memaksa atau tidak rujukannya adalah peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan kebiasaan yang berlaku.
Kedua, unsur keadaan memaksa di atur dalam perjanjian namun bersifat umum. Maksud dari bersifat umum adalah bahwa dalam perjanjian klausul keadaan memaksa menggunakan bahasa yang bersifat umum seperti kata “bencana” untuk banjir, tsunami, gunung meletus dan sebagainya. Dalam pemaknaan keadaan memaksa ini, perlu bantuan penafsiran hakim.
Ketiga, unsur keadaan memaksa yang diatur secara spesifik dalam perjanjian. Spesifik artinya jenis-jenis keadaan memaksa secara eksplisit disebutkan, seperti kondisi pandemi, sakit keras, banjir, teror, perang dan sejenisnya.
Pandemi Covid-19 sebagai Alasan Force Majeure
Setelah melihat uraian di atas, setidaknya kita dapat mengambil beberapa kesimpulan terkait pertanyaan bisakah pandemi covid-19 dijadikan alasan keadaan memaksa.
Dalam hal klausul keadaan memaksa bersifat umum, maka untuk melakukan klaim pandemi covid-19 sebagai force majeure perlu secara lebih spesifik melihat kasus yang terjadi (case by case). Artinya, kondisi keadaan memaksa harus didahului dengan meneliti berbagai faktor dan karakter bisnis yang diperjanjikan.
Selanjutnya, dalam hal klausul keadaan memaksa secara spesifik menyebutkan “pandemi” dalam perjanjian yang dilakukan. Maka klaim pandemi covid-19 sebagai keadaan memaksa bersifat relatif mudah dan dapat langsung dilakukan eksekusi.
Sebagai kesimpulan, Anda tidak bisa begitu saja melakukan klaim atas pandemi covid-19 sebagai keadaan memaksa. Perlu beberapa syarat untuk dapat melakukan klaim keadaan memaksa saat pandemi corona, syarat tersebut adalah sebagai berikut:
- Harus ada unsur itikad baik;
- Pertimbangan hukum keadaan memaksa harus sesuai ketentuan dalam perjanjian;
- Klaim dimaksudnya untuk merubah prestasi dalam perjanjian, bukan menghapus perjanjian;
- Mengutamakan adanya musyawarah yang mengarah pada win-win solution diantara kedua belah pihak;
- Opsi hukum sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada ahlinya.
Demikianlah uraian singkat mengenai force majeure saat pandemi covid-19. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi solusi atas permasalahan yang sedang Anda alami.
HEY, I’M SOLEH!
I am a lecturer and professional writer, My Favorite thing in life is time spent around the table fo write something, like my post on these blogs. I hope you enjoy my blogs.